Cantik tapi Durhaka
Dahulu
kala hiduplah seorang janda setengah baya dengan seorang anak gadinya yang
bernama si Umbut Muda. Gadis itu begitu cantik parasnya. Rambutnya panjang
terurai.
Kecantikan
si Umbut Muda memang tidak ada bandingnya di zaman itu. Sungguh tak dapat
dicari duanya. Karena selalu dipuji-puji, si Umbut Muda jadi tinggi hati,
congkak, dan angkuh. Pakaiannya pun mestilah kain sutra termahal. Untunglah
harta peningggalan almarhum ayahnya memang cukup untuk memenuhi keperluan si
Umbut Muda. Kalau tidak apalah yang diharapkan, ibunya Cuma seorang pengrajin
tenun mengambil upah menenun kain songket ke sana ke mari, sekedar cukup
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja.
“Mak,
jangan hendak senang-senang saja, ikut menghabiskan harta peninggalan ayahku,”
tegur si Umbut Muda, bila suatu ketika melihat ibunya istirahat tidak menenun.
Padahal saat itu ibunya memang sedang kelelahan.
Tidak
puas berceloteh panjang, si Umbut Muda masih juga bermasam muka, wajahnya
cemberut. Ibunya di rumah mewah ukuran di zaman itu, dihardik dan kadang-kadang
terpaksa tidur di serambi rumah bertemankan nyamuk yang gatalnya bukan main.
“Hem,
rasailah oleh Mak!” kata si Umbut Muda , tatkala ibunya terpaksa tidur di
serambi rumah seperti itu.
“Umbut
suruh ambil sisir jatuh saja Mak tak segera ambilkan. Tak sempatlah, benang
tenun kusutlah, macam-macam alasan,” kata gadis jelita itu menghardik ibunya
yang terbaring beralaskan tikar ubang.
“Itulah
namanya hukuman bagi orang tua pemalas!”
Ibu yang
bernasib malah itu harus duduk di bawah perintah si Umbut Muda, anak
satu-satunya yang cukup dikasihi, dimanjakan sejak dalam buaian hingga gadis
remaja.
“Maafkan
Mak!” ibunya mengiba-iba. “Mak, khilaf, maafkanlah!”
Bila
sudah melihat orang tua itu mengalah, meminta maaf, dan ia merasa
disanjung-sanjung. Ketika itulah si Umbut Muda mengizinkan kembali supa ibunya tidur
di rumah menempati sebagaimana mestinya.
Pada
suatu hari menikahlah puteri seorang bangsawan ternama, undangannya terdiri
atas orang-orang ternama, jemputan terhormat termasuk si Umbut Muda. Ia tinggal
di seberang Sungai Jantan.
“Mak,
berpakaianlah!” perintah si Umbut Muda kepada ibunya. “Mak adalah tukang
paying, Umbut hendak ke pesta pernikahan orang,” katanya.
“Iyalah,
Umbut,” sahut ibunya dengan patuhnya.
Si Umbut
Muda pun mengenakan pakaian serba mahal dan perhiasan yang gemerlap. Wajah si Umbut
Muda bertambah cantik, anggun berjalan. Ia berpayung biru muda, diberi
rumbai-rumbai manik kaca buatan Cina.
Lenggang lenggok si Umbut Muda tampak
sangat kentara saat jembatan lintas Sungai Jantan dititinya. "Krut … krut
…” jembatan berderit-derit. Ibunya
bertugas sebagai tukang payung berjalan disebelah kiri.
Entah apa yang menjadi penyebabnya,
mungkin sudah kehendak Tuhan, tiba-tiba terlepas terlepas dua susunan gelang
tangan kanan si Umbut Muda berdenting. Gelang-gelang itu terpelanting, lalu
jatuh ke dalam sungai.
"Mak, gelang Umbut jatuh,"
kata si Umbut Muda. Ia menyuruh ibunya terjun ke air sungai. "Mak, ambil
gelangku!" katanya sambil mendorong ibunya ke dalam sungai.
"Burr ...,"
gelembung-gelembung air mengangkat dari napas ibunya. "Burr...," air
sungai pun menggelegak. Pada saat itu pula turun angin puting beliung
bergulung-gulung, "Siuuuung ...."
Si Umbut Muda pun tergulung angin
puting beliung itu. Ia terpelanting ke dalam sungai lalu tenggelam.
"Maaak, to longlah aku ...!"
Akan tetapi, ibunya tak bisa berbuat
apa-apa. Suara gadis itu semakin sayup akhirnya gadis durhaka itu mati lemas
terikat tarikan lumpur. Sementara ibunga terangkat ke tebing sungai dengan
selamat.
Dikutip dari "Kumpulan Cerita Rakyat dan Sejarah
Nasional", M.B. Rahimsyah
No comments:
Post a Comment